Koalisi Parpol Untuk Capai Ambang Batas Pencalonan Presiden

By Admin

nusakini.com--Pemerintah masih berpegang pada prinsip ambang batas pencalonan presiden 20 persen dari kursi DPR atau 25 persen suara sah hasil pemilihan legislatif. Dengan kata lain, koalisi partai politik (parpol) menjadi mekanisme yang harus dipertahankan dalam mengusung kandidat presiden. 

Persyaratan ambang batas parpol atau gabungan parpol mengajukan pasangan capres-cawapres atau ‘presidential threshold’ memang menjadi salah satu isu krusial dalam pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu. Sejumlah fraksi di DPR enggan menyetujui angka 20-25 tersebut. 

“Tapi, pandangan pemerintah tetap menggunakan syarat ‘presidential treshold’ sebagaimana 5 tahun lalu, yaitu 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah (pileg) nasional,” kata Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo, Sabtu (6/5). 

Pun fraksi-fraksi di DPR terbelah, yakni kubu yang sepandangan dengan pemerintah yakni tetap mempertahankan angka ambang batas tersebut, dan kubu fraksi yang menolak ‘presidential treshold’ lalu menghendaki 0 persen. Jelas, hal ini tak sejalan dengan keinginan pemerintah. 

Perbedaan sikap politik itu terjadi lantaran pada Pemilu 2019 mendatang pemilihan presiden (pilpres) dan pemilu legislatif (pileg) digelar serentak, sebagaimana putusan uji material Mahkamah Konstitusi (MK) pada Januari 2014. 

Menurut Tjahjo, legitimasi nyata sebuah parpol diakui berdasarkan hasil seberapa besar mereka memperoleh dukungan rakyat dalam pemilu. Sebab, penentuan capres dan cawapres harus dilakukan secara selektif. Dimana, persyaratan pertamanya adalah legitimasi parpol tersebut. 

“Kalau setiap partai politik yang sudah teruji dapat dukungan politik oleh masyarakat dalam pemilu dan parpol baru yang ikut pemilu dapat mengusung capresnya (tanpa presidential threshold) berapa banyak capres yang muncul. Capres-cawapres harus selektif,” ujar dia. 

Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan, Arif Wibowo menegaskan, pihaknya berposisi sama dengan pemerintah terkait isu ‘presidential treshold’. Tentunya DPR dan pemerintah sepakat kalau ini perlu dipertahankan untuk membangun sistem presidensial yang kuat dan efektif. 

“Kalau 0 persen, akan ada transaksi. Karena semua parpol bisa mengajukan capres. Kalau seorang capres merasa tak mendapat dukungan yang mayoritas, dia akan cari dukungan mayoritas itu dengan cara membelinya,” tutur dia. 

Arif menegaskan, fraksinya menolak bila parpol yang baru pertama kali ikut pileg langsung bisa mengajukan capres-cawapres. Apalagi parpol baru itu belum teruji mampu bertarung di pemilu legislatif. Sangat aneh bila mereka sudah langsung boleh mengusung capres-cawapres 

“Kita tidak ingin ada parpol medioker, yang ikut pemilu sekadar menjadi tunggangan politik. Ini tak sehat bagi demokrasi kita,” katanya.(p/ab)